Karena Dia Bukan Malaikat

5 07 2006

Ummi-chan, begitulah aku biasa memanggilnya. Sebuah panggilan yang aku “sematkan” kepada istriku sejak kami masih di Tokyo dulu. Ter-ilhami dari anak seorang sahabat di Tokyo yang memanggil Abi-chan kepada Ayahnya. Hmmm, enak juga kedengarannya. Dan, sampai sekarangpun, akhirnya aku terbiasa memanggil ummi-chan kepada istriku,…….jadi ikut-ikutan dech……

Aku menikahi istriku saat ia berada di tahun terakhir “bangku” kuliah pada Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, dan saat sibuk-sibuknya menyeselasaikan tugas akhir alias skripsi. Dan setelah menikah, akupun tidak banyak membantu dalam menyelesaikan skripsinya, lantaran aku harus berangkat ke Jepang untuk melanjutksan studi ke jenjang Master. Sebelum menikah, aku “mengetahuinya” bahwa ia seorang “akhwat” aktivis dakwah kampus dengan “jam terbang” tinggi, jauh lebih “tinggi” dariku. Banyak “amanah-amanah” dakwah dipegangnya, Seksi Kerokhanian Islam (SKI), departemen Keputrian masjid Mardhiyah UGM dan KAMMI, adalah beberapa di antaranya.  

Menikahi “seorang” aktivis dakwah, hmmm….ternyata telah banyak mempengaruhi “cara pandang-ku” dan “perlakuan-ku” terhadapnya. Dan hal itu terbawa sampai aku berada di Jepang saat ini. Kadang aku “meremehkan” hak-haknya lantaran kesibukanku “atas nama” dakwah. Ya……, ketika aku jarang di rumah di hari Sabtu dan Ahad, bahkan kadang harus menginap lantaran ada “urusan” untuk kepentingan dakwah, aku sering beranggapan, bahwa istriku akan “mengerti” dan “memaklumi” semua aktivitas-ku di akhir pekan. Toh semua aku lakukan “atas nama dakwah”. Sebagai seorang wanita yang sudah lama “bergelut” di dunia dakwah dan pergerakan, tentunya ia senantisa bisa “memaklumi” dan “mengerti” terhadap semua aktivitas-ku di “dunia dakwah”, begitulah kira-kira cara pandangku.

Hmmm…..Ternyata, dia bukanlah Malaikat, dia tidak lebih dari seoarang wanita biasa dengan segala fitrahnya. Dia butuh “bermain bersama” di akhir pekan, sesekali meninggalkan rumah dengan segala kesibukan dan rutinitas di dalamnya, piknik bersama, bermalam di luar rumah, melakukan rihlah bersama. Lantaran Rekreasi, Riyadhoh, Rihlah, Refreshing melepaskan “kepenatan” adalah kebutuhan “fitrah” manusia tak terkecuali para aktivis dakwah, ia harus dipenuhi untuk menjaga keseimbangan “fitrah” yang ada dalam diri manusia.

(Hmmmm, musim panas gini, enaknya main ke pantai……………….) 

Note: Ingatanku langsung tertuju kepada sebuah “kenangan indah” pada musim panas tahun lalu, menjelajahi teluk Irago dengan kapal boat, singgah di dua Pulau kecil yang terkenal dengan TAKO-nya, yakni: Shinoshima dan Himakajima, berenang di pantai bersama Faiz, dan bermalam di Irago Garden Hotel, serta menikmati Panorama pantai di malam hari. Beberapa jebretan bisa ditengok di: http://www.edi-suharyadi.com/Gallery.htm   (pada folder: Ekspedisi ke teluk IRAGO)


Aksi

Information

2 responses

12 08 2008
Resi Bismo

ya iyalah pak ustadz, ana setuju dengan antum. Kudu seimbang proporsi dakwah dengan keluarga, jgn sampe keluarga terlantar lantaran kita sering dakwah keluar, bagaimanapun keluarga adalah orang2 yang wajib kita dakwahi terlebih dahulu sebelum yang lain.
Istri ana juga dulu aktifis KAMMI, dan ana setelah menikah sesegera mungkin berusaha mengenali sifat dan karakter perempuan, ternyata emang biar dikata dia aktifis, tetap dia adalah seorang perempuan yang butuh perhatian laki2.

20 06 2014
Rachael

Grsate article. Keepp posting sich kkind off injfo on yor page.
Im really imprwssed byy yourr site.
Hello there, You’ve done ann incredible job. I will definitel diogg
itt annd foor myy parft suggest tto myy friends. I am sre they wjll be benecited
from this web site.

Tinggalkan Balasan ke Resi Bismo Batalkan balasan